Nama Raja Abad Pertengahan

Ilmuwan, cendekiawan, dan penjelajahan

Pada Akhir Abad Pertengahan, para teolog seperti Yohanes Duns Skotus (wafat 1308)[AG] dan Gulielmus Orang Ockham (wafat sekitar 1348),[221] memelopori aksi tanggapan terhadap skolastisisme intelektualis, dengan menentang penerapan akal budi pada iman. Pemikiran-pemikiran mereka mengetepikan gagasan "kesemestaan" menurut Idealisme Plato yang lazim dianut kala itu. Pendirian Gulielmus bahwa akal budi bekerja secara terpisah dari iman memungkinkan ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu teologi dan ilmu filsafat.[304] Di bidang kajian hukum, hukum Romawi kian merambah masuk ke dalam ruang lingkup yurisprudensi yang sebelumnya dikuasai oleh hukum adat. Satu-satunya tempat yang tidak mengalami perkembangan semacam ini adalah Inggris, tempat hukum umum masih diutamakan. Negara-negara lain mengodifikasikan hukum-hukum mereka; kitab-kitab hukum diundangkan di Kastila, Polandia, dan Lituania.[305]

Pendidikan masih lebih tertuju pada pelatihan calon rohaniwan. Pendidikan dasar untuk mengenal huruf dan angka masih menjadi tanggung jawab keluarga atau imam desa, tetapi mata pelajaran sekunder trivium (trimarga, tiga cabang ilmu), yakni tata bahasa, retorika, dan logika, dipelajari di sekolah-sekolah katedral atau sekolah-sekolah pemerintah kota. Sekolah-sekolah dagang sekunder bermunculan di mana-mana, bahkan beberapa kota di Italia memiliki lebih dari satu sekolah semacam ini. Universitas-universitas juga juga didirikan di seluruh Eropa pada abad ke-14 dan ke-15. Tingkat melek aksara umat awam meningkat, tetapi masih tergolong rendah; menurut salah satu perkiraan, tingkat melek aksara mencapai 10% untuk laki-laki dan 1% untuk perempuan pada tahun 1500.[306]

Penerbitan karya-karya sastra dalam bahasa rakyat mengalami peningkatan. Pada abad ke-14, Dante Alighieri (wafat 1321), Petrarka (wafat 1374), dan Giovanni Boccaccio (wafat 1375) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Italia, Geoffrey Chaucer (wafat 1400) dan William Langland (wafat sekitar 1386) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Inggris, sementara François Villon (wafat 1464) dan Christine de Pizan (wafat sekitar 1430) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Prancis. Sebagian besar karya tulis yang dihasilkan kala itu masih berupa karya-karya tulis yang bertema agama, dan meskipun sebagian besar di antaranya masih ditulis dalam bahasa Latin, mulai muncul pula permintaan untuk riwayat-riwayat orang kudus dan karya-karya tulis terkait devosi lainnya yang disusun dalam bahasa-bahasa rakyat.[305] Peningkatan permintaan untuk karya-karya tulis berbahasa rakyat ini dipicu oleh kian maraknya gerakan Devotio Moderna. Gerakan pembaharuan di bidang keagamaan ini semakin mengemuka dengan dibentuknya paguyuban Saudara-Saudara Hidup Bersama (bahasa Latin: Fratres Vitae Communis), tetapi juga menonjol dalam karya-karya tulis yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh kebatinan Jerman seperti Meister Eckhart dan Yohanes Tauler (wafat 1361).[307] Teater juga berkembang dalam bentuk pertunjukan sandiwara-sandiwara mukjizat yang digelar oleh Gereja.[305] Pada penghujung kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, penciptaan mesin cetak sekitar tahun 1450 mendorong didirikannya balai-balai penerbitan di seluruh Eropa pada 1500.[308]

Pada awal abad ke-15, negara-negara di Jazirah Iberia mulai mendanai usaha-usaha penjelajahan di luar tapal batas Eropa. Pangeran Henrique Sang Navigator dari Portugal (wafat 1460) melepas rombongan-rombongan ekspedisi jelajah yang menemukan Kepulauan Kenari, Azores, dan Tanjung Verde pada masa hidupnya. Ekspedisi-ekspedisi jelajah masih terus berlanjut sepeninggal Pangeran Henrique; Bartolomeu Dias (wafat 1500) berhasil berlayar melewati Tanjung Harapan pada 1486, dan Vasco da Gama (wafat 1524) berlayar mengitari Benua Afrika sampai ke India pada tahun 1498.[309] Kerajaan Spanyol, hasil penggabungan Monarki Kastila dan Monarki Aragon, mendanai pelayaran jelajah di bawah pimpinan Kristoforus Kolumbus (wafat 1506) pada tahun 1492 yang akhirnya menemukan benua Amerika.[310] Kerajaan Inggris, pada masa pemerintahan Raja Henry VII, mendanai pelayaran John Cabot (wafat 1498) pada tahun 1497, yang berhasil sampai ke Pulau Tanjung Breton.[311]

Awal Abad Pertengahan

Eropa pada zaman wangsa Karoling

Kerajaan Franka di kawasan utara Galia terpecah menjadi Kerajaan Austrasia, Kerajaan Neustria, dan Kerajaan Burgundia pada abad ke-6 dan abad ke-7, ketiga-tiganya diperintah oleh raja-raja dari wangsa Meroving, anak cucu Raja Klovis. Abad ke-7 adalah kurun waktu yang dipenuhi gejolak peperangan antara Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria.[94] Perang antara kedua kerajaan ini dimanfaatkan oleh Pipin (wafat 640), Pembesar Istana Kerajaan Austrasia yang merupakan orang kuat di belakang penguasa Austrasia. Anggota-anggota keluarganya kemudian hari mewarisi jabatan ini, dan bertugas selaku penasihat dan wali raja. Cicit Pipin yang bernama Karel Martel (wafat 741) memenangkan Pertempuran Poitiers pada 732, yang menghambat pergerakan bala tentara Muslim sehingga tidak melampaui batas Pegunungan Pirenia.[95][J] Wilayah Britania Raya terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang dikuasai oleh Kerajaan Northumbria, Kerajaan Mercia, Kerajaan Wessex, dan Kerajaan Anglia Timur, yang didirikan oleh orang-orang Saksen-Inggris dari Eropa Daratan. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di wilayah yang kini disebut Wales dan Skotlandia masih dikuasai oleh suku-suku pribumi, yakni orang Britani dan orang Pikti.[97] Wilayah Irlandia terbagi-bagi menjadi satuan-satuan politik yang lebih kecil lagi dan diperintah oleh raja-raja. Satuan-satuan politik di Irlandia ini dikenal dengan sebutan kerajaan-kerajaan kesukuan. Diperkirakan kala itu ada 150 raja pribumi di Irlandia, dengan bobot kekuasaan yang berbeda-beda.[98]

Keturunan Karel Martel, yakni wangsa Karoling, mengambil alih pemerintahan Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria melalui suatu usaha kudeta pada 753 yang dipimpin oleh Pipin III (memerintah 752–768). Menurut keterangan dari sebuah naskah tawarikh yang ditulis pada masa itu, Pipin meminta dan mendapatkan wewenang untuk melakukan kudeta dari Paus Stefanus II (menjabat 752–757). Kudeta yang dilakukan Pipin disokong dengan kegiatan propaganda yang mencitrakan raja-raja wangsa Meroving sebagai penguasa-penguasa yang tidak cakap memerintah bahkan lalim, menggembar-gemborkan segala prestasi yang pernah diraih oleh Karel Martel, dan menyebarluaskan kisah-kisah tentang betapa salehnya keluarga Pipin. Di akhir hayatnya pada 768, Pipin mewariskan kerajaannya kepada kedua putranya, Karel (memerintah 768–814) dan Karloman (memerintah 768–771). Ketika Karloman mangkat secara wajar, Karel menghalangi penobatan putra Karloman yang masih belia, dan malah menobatkan dirinya sendiri menjadi raja atas wilayah gabungan Austrasia dan Neustria. Karel, yang lebih dikenal dengan nama Karel Agung (bahasa Latin: Carolus Magnus, bahasa Prancis: Charlemagne), melancarkan serangkaian upaya sistematis untuk meluaskan wilayah pada 774 dengan mempersatukan sebagian besar negeri di Eropa, dan pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah yang kini menjadi wilayah negara Prancis, kawasan utara Italia, dan wilayah Sachsen. Dalam perang yang baru berakhir selepas tahun 800 ini, Karel Agung mengganjari sekutu-sekutunya dengan harta pampasan perang dan kekuasaan atas berbidang-bidang tanah lungguh.[100] Pada 774, Karel Agung menaklukkan orang Lombardi, sehingga lembaga kepausan terbebas dari ancaman penaklukan oleh orang Lombardi dan mulai mendirikan Negara Gereja.[101][K]

Penobatan Karel Agung menjadi kaisar pada hari Natal tahun 800 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Abad Pertengahan. Penobatan ini menandai kebangkitan kembali Kekaisaran Romawi Barat, karena kaisar yang baru ini memerintah atas sebagian besar wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh para Kaisar Romawi Barat.[103] Penobatan ini juga menjadi awal perubahan sifat hubungan antara Karel Agung dan kekaisaran Romawi Timur, karena dengan menyandang gelar kaisar, raja-raja wangsa Karoling menyatakan diri setara dengan para penguasa Romawi Timur.[104] Kekaisaran Karoling yang baru berdiri ini memiliki sejumlah perbedaan dengan Kekaisaran Romawi lama maupun dengan Kekaisaran Romawi Timur kala itu. Wilayah kedaulatan orang Franka bercorak pedesaan dan hanya memiliki beberapa kota kecil. Rata-rata warganya adalah petani yang menetap di lahan-lahan kecil. Kegiatan dagang hanya berskala kecil, dan sebagian besar dilakukan dengan kepulauan Inggris dan Skandinavia, jauh berbeda dari jaringan niaga Kekaisaran Romawi lama yang berpusat di Laut Tengah.[103] Pemerintahan Kekaisaran Karoling diselenggarakan oleh suatu majelis keliling yang senantiasa berpindah-pindah mengikuti perjalanan jelajah kaisar, serta kurang lebih 300 pegawai kekaisaran yang disebut bupati (bahasa Latin: comes, bahasa Prancis: comte, bahasa Jerman: graf), yang menyelenggarakan pemerintahan kabupaten (bahasa Latin: comitatus, bahasa Prancis: comitat, bahasa Jerman: grafschaft), yakni satuan wilayah pemerintahan di Kekaisaran Karoling. Rohaniwan dan uskup-uskup setempat dikaryakan sebagai pamong praja maupun pegawai kekaisaran yang disebut para missi dominici. Para missi dominici bekerja sebagai penilik keliling dan petugas penanggulangan masalah.[105]

Musik Religi Berkembang

Charlemagne dikenal sebagai pendukung keras agama Kristen, sehingga ia menyukai musik gereja khususnya musik liturgi Roma. Pada tahun 774 M, ia meminta Paus Hadrian I mengirim biarawan dari Roma ke istana Aachen untuk mengajar paduan suara.

Peristiwa ini memicu penyebaran musik tradisional Gregorian ke seluruh gereja-gereja kaum Franka. pada tahun 789 M, Charlemagne juga mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pendeta kekaisarannya untuk mempelajari dan bernyanyi dengan benar nyanyian Romawi.

Pada masa ini juga, sekolah musik didirakan dan para biarawan diberi tugas menyalin musik dan membantu melestarikan nyanyian Gregorian hingga saat ini.

Terminologi dan Periodisasi

Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.

Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).

Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.

Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.

Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.

Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).

Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.

Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.

Militer dan perkembangan teknologi

Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]

Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]

Penghujung Zaman Kekaisaran Romawi

Luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi; dalam dua abad berikutnya, Kekaisaran Romawi lambat laun kehilangan kendali atas daerah-daerah di tapal batas wilayahnya.[18] Permasalahan-permasalahan ekonomi, termasuk inflasi, dan tekanan asing di tapal batas wilayah kekaisaran adalah penyebab timbulnya krisis pada abad ke-3. Selama masa krisis ini, kaisar demi kaisar dinobatkan hanya untuk dimakzulkan dengan segera oleh perampas takhta berikutnya.[19] Belanja militer terus meningkat sepanjang abad ke-3, terutama untuk membiayai perang melawan Kekaisaran Sasani yang kembali berkobar pada pertengahan abad ke-3.[20] Bala tentara dilipatgandakan, dan pasukan aswasada serta satuan-satuan ketentaraan yang lebih kecil mengambil alih fungsi legiun Romawi sebagai satuan taktis utama.[21] Kebutuhan akan pendapatan mengakibatkan kenaikan pajak dan penurunan jumlah curialis, atau golongan tuan-tuan tanah, serta penurunan jumlah tuan-tuan tanah yang bersedia memikul beban selaku pejabat di kota asalnya.[20] Meningkatnya kebutuhan akan tenaga birokrat dalam administrasi pemerintah pusat untuk menangani kebutuhan-kebutuhan tentara mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat bahwasanya jumlah pemungut pajak di dalam wilayah kekaisaran lebih besar daripada jumlah pembayar pajak.[21]

Pada 286, Kaisar Dioklesianus (memerintah 284–305) membagi wilayah kekaisaran menjadi wilayah timur dan wilayah barat, masing-masing dengan administrasi pemerintahan sendiri; Kekaisaran Romawi tidak dianggap telah terbagi dua, baik oleh rakyat maupun penguasanya, karena keputusan-keputusan hukum dan administrasi yang dikeluarkan oleh salah satu wilayah juga dianggap sah oleh wilayah yang lain.[22][C] Pada 330, setelah masa perang saudara berakhir, Konstantinus Agung (memerintah 306–337) membangun kembali kota Bizantium sebagai ibu kota wilayah timur yang baru, dan menamainya Konstantinopel.[23] Upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan Kaisar Dioklesianus berhasil memperkukuh birokrasi pemerintahan, menata ulang sistem perpajakan, dan memperkuat angkatan bersenjata. Langkah ini berhasil menyelamatkan kekaisaran tetapi tidak menuntaskan masalah-masalah yang dihadapinya, antara lain pajak yang terlampau tinggi, penurunan angka kelahiran, dan rongrongan bangsa-bangsa asing di tapal batas wilayah.[24] Perang saudara antarkaisar menjadi hal yang lumrah pada pertengahan abad ke-4. Perang-perang saudara ini menguras kekuatan angkatan bersenjata yang menjaga tapal batas wilayah sehingga memudahkan para bangsa-bangsa asing menerobos masuk ke dalam wilayah kekaisaran.[25] Hampir sepanjang abad ke-4, masyarakat Romawi menjadi terbiasa hidup dalam suatu tatanan baru yang berbeda dari tatanan kemasyarakatan Romawi pada Abad Kuno, dengan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, serta meredupnya gairah hidup kota-kota kecil.[26] Perkembangan baru lainnya adalah penyebaran Kristen, atau peralihan keyakinan warga kekaisaran ke agama Kristen, suatu proses yang berjalan sedikit demi sedikit sejak abad ke-2 sampai abad ke-5.[27][28]

Pada 376, orang Goth yang sedang meluputkan diri dari kejaran orang Hun, mendapatkan izin dari Kaisar Valens (memerintah 364–378) untuk menetap di Provinsi Trakia (bahasa Latin: Provincia Thracia), wilayah Kekaisaran Romawi di Jazirah Balkan. Proses pemasyarakatan orang Goth di Provinsi Trakia tidak berjalan mulus, dan manakala para pejabat Romawi mengambil tindakan yang keliru, orang-orang Goth mulai melancarkan aksi-aksi penyerbuan dan penjarahan.[D] Kaisar Valens, yang berusaha meredakan kekacauan, gugur dalam Pertempuran Adrianopel melawan orang Goth pada 9 Agustus 378.[30] Selain ancaman-ancaman dari konfederasi-konfederasi kesukuan semacam itu yang mendesak dari utara, Kekaisaran Romawi juga harus menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh perpecahan di dalam negeri, khususnya perpecahan di kalangan umat Kristen.[31] Pada 400, orang Visigoth menginvasi Kekaisaran Romawi Barat, dan meskipun sempat terpukul mundur dari Italia, akhirnya berhasil menduduki dan menjarah kota Roma pada 410.[32] Pada 406, orang Alan, orang Vandal, dan orang Suevi memasuki Galia; selama tiga tahun berikutnya mereka menyebar ke seluruh pelosok Galia, melintasi Pegunungan Pirenia, dan masuk ke wilayah yang kini menjadi negeri Spanyol pada 409.[33] Zaman Migrasi bermula ketika berbagai suku bangsa, mula-mula sebagian besar adalah suku-suku Jermanik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Eropa. Orang Franka, orang Alemani, dan orang Burgundi pindah dan bermukim di kawasan utara Galia; orang Angli, orang Saksen, dan orang Yuti menetap di Britania;[34] sementara orang Vandal menyeberangi Selat Gibraltar dan mendaulat Provinsi Afrika (bahasa Latin: Provincia Africa).[35] Pada dasawarsa 430-an, orang Hun mulai menginvasi Kekaisaran Romawi; Raja orang Hun, Attila (memerintah 434–453), memimpin invasi-invasi ke Jazirah Balkan pada 442 dan 447, ke Galia pada 451, dan ke Italia pada 452.[36] Ancaman orang Hun terus membayang-bayangi Kekaisaran Romawi sampai konfederasi suku-suku Hun pecah kongsi sepeninggal Attila wafat pada 453.[37] Invasi-invasi yang dilancarkan suku-suku asing ini sepenuhnya merombak tatanan politik dan kemasyarakatan di Kekaisaran Romawi Barat pada masa itu.[34]

Menjelang akhir abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi sudah terpecah menjadi banyak negara kecil, masing-masing dikuasai oleh suku yang menginvasinya pada permulaan abad itu.[38] Pemakzulan kaisar wilayah barat yang terakhir, Romulus Agustulus, pada 476 sudah lama dijadikan tonggak sejarah yang menandai tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi Barat.[11][E] Pada 493, Jazirah Italia ditaklukkan oleh orang Ostrogoth.[39] Kekaisaran Romawi Timur, yang kerap disebut Kekaisaran Romawi Timur setelah tumbangnya pemerintah wilayah barat, tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas daerah-daerah wilayah barat yang sudah lepas dari genggamannya. Para Kaisar Romawi Timur tetap mendaku sebagai penguasa atas daerah-daerah itu, tetapi kendati tak seorang pun dari raja-raja baru di wilayah barat berani meninggikan diri menjadi kaisar wilayah barat, kendali Romawi Timur atas sebagian besar wilayah barat Kekaisaran Romawi tidak dapat dipertahankan; penaklukan kembali daerah-daerah di sepanjang pesisir Laut Tengah dan di Jazirah Italia (Perang Goth) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565) adalah satu-satunya pengecualian, meskipun tidak bertahan lama.[40]

Mata Uang Distandarisasi

Ketika Charlemagne menaklukan Eropa Barat, ia menyadari perlunya mata uang yang terstandarisasi. Bukan koin emas, pemerintahannya memiliki mata uang berupa koin perak yang dapat digunakan di seluruh kekaisaran.

Uang ini juga dikenal sebagai mata uang bersama pertama di Eropa sejak era Romawi. Sistemnya membagi satu pon perak murni Carolingian menjadi 240 keping. Bahkan Prancis diketahui mempertahankan versi dasar mata uang ini hingga Revolusi Prancis terjadi.

Terminologi dan Periodisasi

Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.

Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).

Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.

Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.

Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.

Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).

Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.

Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.

Abad Pembaharuan Karoling

Istana Karel Agung di Aachen menjadi pusat kebangkitan budaya yang adakalanya disebut "Abad Pembaharuan Karoling". Angka melek aksara meningkat, seiring berkembangnya seni rupa, arsitektur, dan tatanan hukum, demikian pula dengan kajian-kajian mengenai liturgi dan kitab suci. Alcuin (wafat 804), rahib Inggris yang diundang ke Aachen, datang membawa pendidikan ala biara-biara Northumbria. Cancellaria, yakni jawatan setia usaha atau kepaniteraan pada masa pemerintahan Karel Agung, menggunakan ragam aksara baru yang kini disebut ragam huruf kecil Karoling.[L] Kebijakan kepaniteraan Karel Agung ini telah memunculkan suatu ragam tulis umum yang mendorong kemajuan komunikasi di hampir seluruh Benua Eropa. Karel Agung mendukung perubahan-perubahan dalam liturgi Gereja, serta mewajibkan penerapan tata ibadat Gereja Roma dan penggunaan kidung Gregorian sebagai musik liturgi Gereja di wilayah kedaulatannya. Salah satu kegiatan utama para cendekiawan kala itu adalah menyalin, memperbaiki, dan menyebarluaskan karya-karya tulis lama, baik karya tulis keagamaan maupun karya tulis sekuler, demi kemajuan pendidikan. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya tulis keagamaan dan buku-buku pelajaran yang baru.[107] Para ahli bahasa kala itu mengubah suai bahasa Latin dari ragam klasik warisan Kekaisaran Romawi menjadi ragam yang lebih luwes agar selaras dengan kebutuhan Gereja dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Karel Agung, bahasa Latin yang digunakan sudah sangat menyimpang dari ragam klasiknya sehingga kemudian hari disebut bahasa Latin Abad Pertengahan.[108]